Senin, 20 Maret 2017

KISAH TERJADINYA WUKU


 KISAH WUKU


Adapun sejarah asal-usulnya wuku yang berjumlah 30 macam sebagai berikut :
Di ceritakan ada dua putri bersaudara yang bernama dewi Shinta dan dewi Landep, dua-duanya diperistri oleh seorang pandita yang bernama Resi Gana., Resi Gana ini adalah putra dari Bethara Temburu dalam ceritanya dalam memperistri dua putri tersebut, Resi Gana belum mendapatkan putra dan cintanya dikarenakan usianya yang sudah tua serta buruk rupa, pada suatu malam karena cinta kasihnya pada salah satu istrinya ( Dewi shinta ) sang Resi mendapatkan kekecewaan karena perilaku sang Dewi Shinta tersebut.

Sehingga menyebabkan sang Resi menjadi muksa ( menghilang secara gaib ). Pada saat itu sang Resi sempat mengucap / bersabda kepada Dewi Shinta “ Pada suatu kelak nanti wiji yang tertanam dalam rahimnya akan menghasilkan anak laki-laki agar diberi nama “Jaka Wudug “.

Singkat cerita Dewi Shinta akhirnya hamil dan mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama seprti sabda tersebut, sang bayi menjelang akhir dewasa nafsu makannya luar biasa / tidak lumrah seperti bayi-bayi yang lain, hingga pada sutau saat ketika Dewi Shinta menanak nasi Jaka Wudug 
menangis sesengguhan, saking kesalnya Dewi Shinta memukul dengan entong ( sendok nasi ) kemudian Jaka Wudug  kecewa sekali lalu pergi tanpa pamit.

Setelah selesai menanak nasi Dewi Shinta mencari putranya, akan tetapi tidak pernah ketemu. Saking susah hatinya Dewi Shinta dibantu Dewi Landep bertapa di pedepokan ( rumahnya ) dalam pertapaannya akhirnya dua putri tersebut mendapatkan kesaktian yang luar biasa, sehingga banyak pandita-pandita yang lain banyak belajar ilmu dan ingin melamarnya. Tetapi semuanya ditolak, bahkan ada seorang resi yang sangat sakti pun yaitu Resi Tama bahkan ingin memaksanya untuk memperistrinya. Hal ini mengakibatkan dua putri tersebut lari tunggang langgang, inipun masih dikejar resi Tama.

Para Pandita yang lain mendaptkan kabar ini akhirnya berbalik menjadi belas kasihan dan akhirnya memburu sang Resi Tama. Dalam peperangan sang Resi Tama dapat mengalahkan semua resi-resi tersebut, bahkan terus mengejar dua putri tersebut sampai ke negara Medangkamulan dengan rajanya Manuk Madewa yang masih berdarah betara Brahma, dengan patihnya berjuluk Patih Citro Dana. Di negara inipun sang Prabu Manuk Madewa juga kasamaran terhadap kecantikan kedua putri tersebut. Sang Putri agaknya mau dengan syarat :
 “ Bisa mengalahkan sang Resi Tama yang mengejar-ngejar tersebut “ akhirnya dikerahkan bala tentara untuk memerangi sang resi Tama dibawah pimpinan patih Citra Dana, namun dalam peperangan tersebut prajurit dari negeri Medang Kamulam kocar-kacir.

Diceritakan Jaka Wudug  setelah terpukul oleh entong ( sendok makan ) tersebut sampai di hutan Selo Gringging, luka dikepala akibat pukulan ibunya akhirnya sembuh sendiri dan berbekas. Pada suatu saat Jaka Wudug  bertemu dengan masyarakat di sekitar hutan tersebut yang sedang mengadakan kendurian atau keselamatan, Jaka Wudug  ikut dalam selamtan tersebut namun banyak melahap makanan yang disajikan diluar batas kewajaran. Sehingga mengakibatkan kemarahan masyarakat akhirnya dianiaya berramai-ramai, dalam penganiayaan tersebut ternyata Jaka Wudug  tidak merasakan kesakitan bahkan terus melahap makanan yang tersaji, hal ini mengakibatkan keheranan masyarakat yang akhirnya malah sang Jaka Wudug  dijadikan Raja diwilayah tersebut, bahkan dibuatkan keraton dan diangkat raja dengan gelar Prabu Watu Gunung.

Pada suatu ketika sang Prabu mendengar cerita bahwa di negara Medang Kamulan terjadi peperangan yang disebabkan seorang Resi Tama sedang memperebutkan dua orang putri yang cantik jelita, sehingga Prabu Watu Gunung pun ingin ikut memperrebutkannya. Akhirnya Prabu Watu Gunung bertolak ke negara Medang Kamulan lalu berhadapan langsung dengan sang Resi Tama. Bahkan akhirnya dapat mengalahkan Resi Tama. Namun ketika Resi Tama dapat dikalahkan Raden Watu Gunung, yang terdengar kabar di istana Medang Kamulan adalah patihnya yang bernama Citra Dana dalam perjalanannya menuju ke istana sang patih tersebut dielu-elukan, bahkan sang Prabu Manuk Madewa ikut membangga-banggakan atas kesaktian patihnya. Hal ini terdengar oleh Prabu Watu Gunung, yang menyebabkan kekecewaannya.

Singkat cerita terjadi peperangan lagi antara Prabu Watu Gunung dengan Prabu Manuk Madewa yang akhirnya Prabu Manuk Madewa tewas. Dan akhirnya menjadi raja di Medang Kamulan yang kemudian kerajaan tersebut diganti nama negara Giling Wesi, bahkan dua orang putri tersebut diangkat sebagai permaisurinya. Diceritakan lagi setelah menjadi istri sang Prabu Watu Gunung, dewi Shinta melahirkan putra yang selalu kembar sampai 13 kali ( kecuali yang nomor 14 ) sehingga jumlah putra sang prabu 27 :

1. Raden Wukir kembar dengan Raden Kurantil
2. Raden Tolu kembar dengan Raden Gumbreg
3. Raden Warigalit kembar dengan Raden Warigagung
4. Raden Djulungwangi kembar dengan Reden Sungsang
5. Raden Galungan kembar dengan Raden Kuningan
6. Raden Langkir kembar dengan Raden Mandasija
7. Radem Djulungpujud kembar dengan Raden Pahang
8. Kuruwelut kembar dengan Raden Marakeh
9. Raden Tambir kembar dengan Raden Madangkongan
10. Maktal kembar dengan Raden Wuje
11. Raden Manail kembar dengan Raden Prangbakat
12. Raden Bala kembar dengan Raden Wugu
13. Raden Wajang kembar dengan Raden Kuwalu
14. Raden Dukut tidak kembar

Kemudian pada suatu ketika Dewi Shinta diperintahkan untuk mencari kutu di kepala Sang Prabu Watu Gunung, betapa terkejutnya sang Dewi Shinta melihat bekas luka kepala sang prabu, yang mengingatkan kejadian putranya di waktu dulu, sang prabu bahkan sempat menceritakan asal mualasan luka tersebut, yang ternyata Dewi Shinta adalah ibunya sendiri terjadilah keharuan yang luar biasa, betapa berat cobaan hidup ini, dan betapa memalukan kejadian ini.

Sehingga diniatkan jangan sampai rahasia ini diketahui orang lain, sambil menangis Dewi Shinta berkata “ Sababing Karuna Ajalaran Saking Kepengine Duwe Maru Widodari Kahyangan “ yang artinya tangisnya dikarenakan keinginan untuk mengawinkan anaknya dengan sang bidadari kahyangan. Dikarenakan keterlanjuran cintanya pada sang dewi Shinta sang Prabu mengumpulkan semua putranya dan memerintahkan prabu Raden Prangbakat untuk naik ke kahyangan bertemu dengan Bathara Guru lalu memohon seorang bidadari bernama Dewi Sri untuk diperistri sang Prabu dengan cara tebak-tebakan.
Diceritakan di kahyangan: Djunggring Salaka Sang Hyang Guru : Resi Narada didatangi oleh Raden Prangbakat atas pesan bapaknya : dengan membawa dua buah ayam peking dimana Bathara Guru (putra Bathara Wisnu) dipersilahkan menebak mana yang jantan dan mana yang betina. Bathara Wisnu menjawab “yang betina adalah yang bertelinga bolong dan yang jantan yang bertelinga mampat”. Namun dalam ceritanya di kahyangan niat Watu Gunung dianggap merusak tatanan wilayah kahyangan kemudian Bathara Wisnu memimpin untuk (Ngluruk)-mendatangi sang Prabu di Gilingwesi akhirnya terjadilah peperangan para dewa dengan sang prabu didahului dengan perang putra-putra sang prabu yang dikepung oleh pasukan para dewa.

Dalam peperangan tersebut yang dipimpin oleh Prabu Watu Gunung sendiri ternyata sulit dikalahkan. Akhirnya Bathara Wisnu mencari tahu kelemahan sang prabu dari putranya sendiri yaitu Raden Srigati yang kemudian Raden Srigati mengutus Wil Awuk sebagai mata-mata untuk mengetahui kelemahan Watu Gunung. Wil Awuk merubah dirinya menjadi ular kecil (ulo kisi) diceritakan Wil Awuk berhasil masuk ke tempat pelaminan sang prabu yang pada saat itu sedang menceritakan tentang kesaktiannya kepada sang Dewi Shinta yang disana sempat diceritakan tentang rahasia kelemahan sang prabu dimana hari naasnya jatuh pada hari anggara kasih jam 12 siang (bedug awan) yaitu pada hari yang sama saat kelahiran Raden Galungan yang juga bersamaan saat Watu Gunung mengalahkan Prabu Manuk Madewa. Kelemahan ini akhirnya digunakan oleh Bathara Wisnu untuk menumpas kerajaan Gilingwesi dan akhirnya tumpaslah sudah kerajaan tersebut.

Pada akhirnya diceritakan Dewi Shinta dan Dewi Landep masih hidup dan menangis memohon Sang Hyang Jagad Noto untuk memohon keadilan kemudian turunlah Resi Narada diutus untuk memberitahukan sebab musababnya yang ternyata disebabkan kesalahannya sendiri yaitu memberitahukan kelemannya kepada Sang Dewi Shinta dimana terdengar oleh Wil Awuk.
Sebagai gantinya sang dewi akan dikabulkan permintaannya asalkan tidak meminta hidupnya kembali sang Watu Gunung besarta putranya sedangkan permintaan sang dewi Shinta hanya ingin Watu Gunung dan semua putranya dimaafkan kesalahannya dan masuk surga bersama-sama dengan dewi Landep. Permohonan ini dipenuhi oleh Sang Hyang Jagad dimana urut-urutan masuk surga adalah :
1. Dewi Shinta
2. Dewi Landep
Kemudian diikuti ke-27 putranya yang terakhir Watu Gunung (no 30) oleh Bathara Wisnu ke tiga puluh nama tersebut dijadikan dasar perhitungan Wuku.

1.      Sinta – Batara Yama (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
2.      Landep – Batara Mahadewa (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
3.      Wukir, Ukir – Batara Mahayakti (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
4.      Kurantil, Kulantir – Batara Langsur (Ahad Pon – Sabtu Wage)
5.      Tolu, Tulu – Batara Bayu (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
6.      Gumbreg – Batara Candra (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
7.      Warigalit, Wariga – Batara Asmara (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
8.      Warigagung, Warigadian – Batara Maharesi (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
9.      Julungwangi, Julangwangi – Batara Sambu (Ahad Pon – Sabtu Wage)
10.    Sungsang – Batara Gana Ganesa (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
11.    Galungan, Dungulan – Batara Kamajaya (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
12.    Kuningan – Batara Indra. (Ahad Wage – Sabtu Kliwon) Pada minggu ini jatuh hari raya Kuningan pada hari Sabtu-Kliwon.
13.    Langkir – Batara Kala (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
14.    Mandasiya, Medangsia – Batara Brahma (Ahad Pon – Sabtu Wage)
15.    Julungpujut, Pujut – Batara Guritna (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
16.    Pahang – Batara Tantra (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
17.    Kuruwelut, Krulut – Batara Wisnu (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
18.    Marakeh, Merakih – Batara Suranggana (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
19.    Tambir – Batara Siwa (Ahad Pon – Sabtu Wage)
20.    Medangkungan – Batara Basuki (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
21.    Maktal ,Matal – Batara Sakri (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
22.    Wuye, Uye – Batara Kowera (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
23.    Manahil, Menail – Batara Citragotra (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
24.    Prangbakat – Batara Bisma (Ahad Pon – Sabtu Wage)
25.    Bala – Batara Durga (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
26.    Wugu, Ugu – Batara Singajanma (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
27.    Wayang – Batara Sri (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
28.    Kulawu, Kelawu – Batara Sadana (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
29.    Dukut – Batara Sakri. Pada minggu ini jatuh hari Anggara Kasih pada hari Selasa Kliwon yang dianggap keramat oleh orang Jawa. (Ahad Pon – Sabtu Wage)

30.    Watugunung – Batara Anantaboga. (Ahad Kliwon – Sabtu Legi) Dalam minggu ini jatuh hari Jumat Kliwon yang dianggap keramat oleh orang Jawa dan hari Saraswati yang dianggap suci oleh orang Bali.

Kamis, 27 Oktober 2016

PANDAWA MOKSA


Padhawa Muksa

Pandhawa sedang melakukan sebuah perjalanan spiritual untk menjalani muksa.
(karya : herjaka HS)

Parikesit raja Ngastina duduk di atas singhasana, dihadap oleh Patih Dwara dan Patih Danurwenda. Mereka menerima kehadiran Sri Darmakusuma, Sri Kresna, Sri Balarama, Kunthi, Drupadi, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Sri Darmakusuma atau Puntadewa memberitahu, bahwa para Pandhawa telah selesai bersuci diri di sungai Bagiatri, kemudian akan muksa.

Mendengar keterangan Prabu Puntadewa, Parikesit menjadi sedih. Sri Kresna menasihatinya dan supaya bersyukur kepada Tuhan, bahwa para Pandhawa telah mendapat karunia, dan mereka akan muksa.

Puntadewa bercerita tentang ilham yang diterimanya. Ia memperoleh ilham, bahwa Pandhawa bersama Kunthi dan Drupadi pada waktu terang bulan yang akan datang diperkenankan muksa. Baladewa ingin ikut muksa, tetapi Sri Kresna tidak mengijinkan, sebab muksa itu atas kuasa Tuhan.

Para Pandhawa, Kunthi, Drupadi dan Sri Kresna meninggalkan kerajaan. Baladewa diminta tinggal di Ngastina mengasuh raja Parikesit.

Resi Wantrika dari pertapaan Rewantaka menghadap Sri Kresna sang resi minta agar anak Sri Kresna yang bernama Setyaka diperkenankan diambil sebagai menantu, akan dikawinkan dengan Endhang Puspawati. Sri Kresna ingin berunding di luar istana Ngastina. Resi Wantrika menyanggupinya.

Sri Kresna berunding dengan Resi Wantrika. Sri Kresna mengijinkan, Setyaka boleh diambil menantu, asal sang resi bisa menjelaskan ungkapan bermakna, yaitu tentang sembah raga, sembah jiwa dan sembah sukma. Resi Wantrika dapat menjelaskan maksud ungkapan itu. Kemudian Sri Kresna minta agar Resi Wantrika mengajukan pertanyaan kepadanya. Resi Wantrika menanyakan jumlah anak Sri Kresna. Sri Kresna menjawab jumlah anaknya, tetapi ada satu yang lupa tidak disebutnya. Resi Wantrika menjelaskan anak yang dilupakan, karena anak itu dibuang sejak bayi. Akhirnya Sri Kresna mengakuinya. Resi Wantrika bercerita, bahwa keturunan anak Sri Kresna yang sekarang hidup ialah Endhang Puspawati.

Sri Kresna marah, Resi Wantrika akan dibunuh dengan senjata cakra, tetapi senjata tidak melukainya. Sang Hyang Narada datang, menjelaskan kebenaran, bahwa Endhang Puspawati adalah keturunannya. Senjata Cakra diminta oleh Sang Hyang Narada, dibawa ke kahyangan. Sri Kresna mengijinkan Setyaka memperisteri Endhang Puspawati. Setelah selesai perkawinan, Sri kresna menyusul para Pandhawa yang akan mencari jalan kemuksaan.

Prabu Kiswaka anak Bomantara, raja Surateleng, dihadap oleh Adipati Glagah Tinunu, Ditya Wesi Aji dan Togog. Mereka mendengar kabar tentang para Pandhawa yang akan muksa, dan ingin membalas kematian ayahnya, memberontak pemerintahan Ngastina. Mereka bersiap-siap bersama perajurit, lalu mencegat perajurit Ngastina yang menghantar kemuksaan para Pandhawa. Terjadilah pertempuran, perajurit Surateleng menyimpang jalan.

Para panakawan Pandhawa menghantar Arjuna mengikuti perjalanan Sri Kresna, Kunthi, Drupadi, Bima, Nakula, Sadewa dan Puntadewa. Perjalanan mereka tiba di desa Samahita. Mereka telah bersamadhi selama tujuh hari. Sri Kresna menanyakan ilham yang mereka peroleh.

Kunthi bermimpi, seolah-olah raja Pandhu dan Madrim naik kereta akan menjemputnya. Drupadi bermimpi berjalan lurus, kemudian sampai di sebuah pintu gerbang bergapura intan berhias indah. Puntadewa bermimpi melihat keris berpamor emas. Keris itu masuk dalam sarungnya, lalu hilang dari pandangannya, tertutup oleh cahaya semu. Arjuna bermimpi melihat arca emas bergantung tanpa sangkutan, kemudian hilang masuk ke tubuhnya. Nakula bermimpi naik gunung bersalju bersama Sadewa, kemudian meluncur seperti panah meluncur dari busurnya. Mimpi Sadewa sama dengan mimpi Nakula. Bima bermimpi memandang cahaya sebesar kunang-kunang yang bertempat di pusat Pramana Jati. Dipandang dari arah manapun cahaya itu tidak hilang. Sri kresna belum memperoleh ilham sama sekali.

Seekor kuda berkepala manusia meluncur dari angkasa. Kuda itu dipanah oleh Arjuna, seketika berubah menjadi manusia tua, mengaku bernama Kyai Lurah Wilarsraya. Wilarsraya bercerita tentang asal mula menjadi kuda berkepala manusia. Ia memang berasal dari kuda raja Gardhapura yang bersatu dengan seorang juru pemelihara kuda. Ia bertugas membantu Duryodana sewaktu perang baratayuda. Karena terkena panah, kepala kuda lepas dan tubuh manusia terpisah. Bersatulah tubuh kuda dengan kepala manusia pemelihara kuda, oleh karena kesaktian minyak sangkal yang dibawanya. Wilarsraya ingin mengabdi di Negara Ngastina. Sri Kresna menyetujui, Puntadewa memberi surat pengantar untuk Parikesit, raja Ngastina

Sri Kresna, Kunthi, Drupadi dan para Pandhawa meneruskan perjalanan mereka. Tiba-tiba mereka melihat seorang nenek sedang menimba sumur. Setiap air yang ditimba sampai di atas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur lagi. Sri Kresna menanyainya. Nenek itu bernama Nyai Ruminta. Ia memberitahu, bahwa harta kekayaannya dimasukkan ke dalam sumur, sebab sejak perang Baratayuda akan dirampok oleh perajurit Korawa. Ia menjadi janda dan menjadi salah satu korban perang. Jika Pandhawa tidak dapat menemukan dan mengembalikan kekayaannya, pasti akan mendapat hukuman Tuhan. Sri Kresna sanggup mengembalikan harta kekayaan Nyai Ruminta. Nyai Ruminta disuruh minta bantuan orang se desa untuk mengisi sumur dengan air sampai penuh meluap-luap. Orang sedesa mengambil air dari berbagai sumur, dituangkan ke dalam sumur yang berisi harta kekayaan itu. Bersama luapan air sumur keluarlah barang-barang emas berlian dari dalam sumur. Sri Kresna minta agar harta itu untuk semua orang di desa Samahita.

Sri Kresna dan Bima melanjutkan perjalanan, mengejar perjalanan saudara-saudaranya yang telah jauh berjalan.

Perjalanan mereka tiba di tepi samodera. Sri Kresna membuang pusaka saktinya yang bernama Sekar Wijaya Mulya. Sekar Wijaya Mulya mendarat di pulau, kemudian tumbuh menjadi: 

(1) tempat bunga tumbuh menjadi pohon Kastuba 
(2) bunganya tumbuh menjadi pohon Kembang Wijaya Kusuma 
(3) tutupnya tumbuh menjadi empon-empon umbi-umbian. 

Perjalanan mereka tiba di sebuah rumah bertutup pintu di desa Padapa. Yang empunya rumah tidur di dalam. Bima dan Puntaewa mendekat, melihat orang yang telah tidak berkaku. Orang itu bernama Anggira, bekas abdi Gardhapati raja Singala. Ia korban perang Baratayuda yang masih hidup karena kebaikan seorang dukun dari desa Soka. Kunthi member aji Pameling. Drupadi memberi pusaka Sumbul Musthika yang bisa menghasilkan makan-makanan. Bima member aji Pagracut. Sri Kresna, Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa memberi doa puji keselamatan untuk Anggira.

Mereka tiba di desa Soka, bertemu dengan Kuda Prewangan. Bima tahu, bahwa Kuda Prewangan itu jelmaan Dhang Hyang Drona, Arjuna segera melepaskan panah, kuda Prewangan musnah seketika. Didengar suara Drona, mengucap terimakasih atas kebaikan para Pandhawa.

Orang-orang di desa Soka marah, para Pandhawa dikeroyok, tetapi mereka tidak mampu mengalahkan, meskipun para Pandhawa tidak melawannya. Bima menjelaskan dan minta maaf. Bima member ajaran kepada semua orang di desa Soka tentang hakikat pengabdian manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Sri Kresna, Kunthi, Drupadi dan para Pandhawa selesai melakukan pemujaan berkeliling, lalu kembali ke kerajaan Ngastina. Selama dalam perjalanan Bima dan Kresna membicarakan amal bakti Dhang Hyang Drona.

Raja Parikesit dan sanak saudaranya menjemput kedatangan mereka. Bima disambut tangis oleh dua cucunya. Danurwenda dan Sasi Kirana. Bima memberi nasihat banyak tentang hakikat dan kehidupan. Bima mengharap segala sikap Pandhawa selama hidup menjadi teladan bagi mereka berdua. Bima menghadiahkan aji kepada Danurwenda. Aji itu bernama Bandung Bandawasa, Ungkal Bener dan Blabak Pangantolantol. Kemudian memberikan gada Lukitamuka dan tombak Wilugarba kepada Sasi Kirana.

Kunthi, Drupadi, Nakula, Sadewa, Arjuna, Puntadewa dan Bima muksa. Para anak cucu menyaksikan kemuksaan mereka. Kunthi berpakaian serba putih, naik ke candhi Rukmi, lalu bersamadi. Kemuksaan Kunthi ditandai oleh cahaya berbinar-binar menyambar Candhi Rukmi. Sukma dan raga Kunthi muksa.

Drupadi berpakaian serba putih, naik ke Candhi Rukmi, lalu bersamadi. Kemuksaan Drupadi ditandai oleh sinar bundar seperti matahari berlubang berseri-seri.

Nakula dan Sadewa bercuci diri di sungai Gangga, lalu mengenakan pakaian brahmana. Mereka masuk ke Candhi Sekar, bersamadi. Kemuksaan mereka ditandai oleh tiupan angin topan.

Arjuna mandi di Sendhang Pangruwatan, lalu mengenakan pakaian brahmana. Arjuna masuk ke Candhi Sekar, bersamadi. Kemuksaan Arjuna kelihatan seolah-olah Arjuna naik dalam kereta yang nampak seperti cahaya berseri-seri. Kereta cahaya ditarik oleh seratus kuda, dikemudikan dewa dan dipayungi bidadari.

Puntadewa (Darmakusuma) bersama anjing naik ke Candhi Rukmi. Anjing itu bernama Linggasraya, kemudian berubah menjadi dewa Darma setelah ia memberi tafsiran terhadap tulisan yang didapat dalam Kalimsada. Dewa Darma kembali ke kahyangan, Dewa Indra menjemput Puntadewa dengan kereta cahaya dari kahyangan. Puntadewa muksa bersama Dewa Indra.

Bima berbincang-bincang dengan Sri Kresna. Sri Kresna tidak akan muksa bersama Pandhawa sebab berbeda amal baktinya. Atas saran Bima, Sri Kresna bertapa di laut pasir, di tepi samodera. Setelah mereka selesai berbicara masalah muksa, Sri Kresna masuk dalam Candhi Rukmi, lalu pergi ke laut pasir untuk mencari kemuksaan.

Bima masuk ke Candhi Sekar, bersamadi. Kemuksaan Bima ditandai oleh suasana tenang dan sunyi.

Para pandhawa telah muksa, raja Baladewa minta agar Candhi Rukmi dan Candhi Sekar dibakar segera.

Prabu Kiswaka dan Wesi Aji datang, menyerang kerajaan Ngastina. Setyaki dan Sasi Kirana menyambut serangan musuh Prabu Kiswaka hancur dipukul Setyaki dengan gada Wesi Kuning, Wesi Aji hancur kena pukulan gada Lukitamuka.

Parikesit, Baladewa, Patih Dwara, Patih Danurwenda dan para sanak saudara berkumpul, mendoakan, arwah para Pandhawa yang telah muksa ke alam baka.


Tancep kayon.

Sabtu, 16 Januari 2016

CANDHABIRAWA



Anggitan : KGPAA Mangkunagara VII

1.
Jejer ing negari Dwarawati. Sang Nata miyos tinangkil aneng sitinggil binatarata. Para wadya pepak ingkang sumiwi, munggwing ngarsa putra R Samba, santana R Wresniwira tuwin patih Udawa.
Ingkang rinembag : Srinata sanget oneng dhateng para ari Pandhawa. Kasaru dhatengipun R Nakula, lajeng tumameng ngarsa. Sasampunipun lenggah satata , dinangu matur lamun dinuta ingkang raka nata Pandhawa, Prabu Yudhistira ngaturaken sembah pangabekti. Ingkang kaping kalih ngaturi pariksa menawi ing praja Amarta badhe kedhatengan mengsah saking Selaprewata, Maharaja Dermabirawa. Srinata Dwarawati kaaturan rawuh , bibaran tinangkil. Srinata arsa tindak lajeng jengkar kondur ngedhaton .

2.
Madeg ing Gupit Mandragini. Sang Padniwara tetiga, Dewi Jembawati miyos ing pananggap prabasuyasa, kaleres ler-wetan ingadhep dening Dewi Rukmini tuwin Dewi Setyaboma, sami amariksani bedhaya sarimpi ngiras pantes angentosi konduripun srinata. Ingkang rinembag kawontenanipun ing pasewakan. Srinata lajeng kondur angedhaton, lajeng lenggah satata. Srinata lajeng tindak dhateng ing pambojanan. Sasampunipun rampung bojana, srinata ngrasuk busana kaprajuritan lejeng tindak anurut kukusing dupa, andedel ngayuh ing gegana.

3.
Madeg ing Paseban Jawi. R Nakula, R Samba, Wresniwira, Patih Udawa. Rembag siyaga ing dedamel. Rekyana Patih Udawa ngundangi para wadya, sasampinipun samekta lajeng bidhal kapalan, sami nusul tindake Srinata.

4.
Madeg ing negari Selaprewata. Parbu Dermabirawa miyos siniwi ing wadyabala. Ingkang munggwing ngarsa ingkang rayi ing Kadipaten R Jayabirawa. Ingkang rinembag negari Amarta badhe pinukul prang rumyin, ingkang minangka senapatining ngayuda R Jayabirawa tuwin Bogabirawa. Sasampunipun wineling, ari kalih lajeng sami lumengser saking ngarsa, srinata angadhaton.

5.
Madeg ing Paseban Jawi. R Jayabirawa, R Bogabirawa tuwin para punggawa ditya. Ingkang rinembag : denira arsa dhumateng Tanah Jawi nedya mukul prang ing Amarta. Lajeng angundangi para wadya ditya, sasampuning samapta lajeng bidhalan.

6.
Madeg ing wukir Ratawu. Sang Resi Abiyasa miyos ing pacrabakan, katamuwan ingkang wayah R Janaka tuwin repatira tetiga ingkang andherek. Rembag R Janaka ingutus ingkang raka Srinata ing Amarta Prabu Yudhisthira ngaturaken pangabekti tuwin ngaturaken uninga bilih praja Amarta badhe kedhatengan mengsah saking Selaprewata. Sang Resi dhawuh saliring kasujanan. R Janaka lajeng pamit wangsul, linilan. Parepat tiga Kyai Semar, Nalagareng, Petruk sami andherek. Lampahipun dumugi ing marga kakapag barisan danawa saking Selaprewata . Pasulayaning rembag dados prang, rota danawa ingkang ageng sami pejah. Sadaya ingkang alit sami lumajeng sapurug-purug. R Janaka lajeng malebet ing wana kendel ing sangandhaping mandera angasokaken sarira. Ing ngriku senapatining yuda R Jayabirawa ingkang munggeng gegana, sumerep para wadyanipun pancakara kathah ingkang tiwas sanalika boten mawi taken, R Janaka binekta ing gegana inguncalaken. Dereng dumugi , tinampen R Bogabirawa. R Janaka cinempala, lajeng binucal dhawah ing siti, kantaka. Wungu saking kantaka, amusthi Pasopati. Sigra linepasaken angenani mengsah kekalih, sami sirna boten katingalan. Amung sasirnaning mengsah , wonten suwara kapiyarsa. Ing gegana gumaludhug , mendhung peteng lelimengan. Boten dangu ing gegana lajeng padhang. R Janaka boten sakeca ing galih, lajeng lampahipun angiring parepat tiga, Kyai Semar Nalagareng Petruk.

7.
Madeg ing ara-ara Gendhaga. Ratuning satowana awarni dwipangga nama Gajahbirawa, patih warni singa anama Singaloba, wadyabala buron wana. Rembag : mireng pawartos bilih sang Nata ing Selaprewata Prabu Dermabirawa nglurug dhateng nagari Amarta, punika raja dwipangga nedya mbiyantu, awit ing ara-ara Gendhaga taksih kabawah ing Selaprewata. Sasampuning siyaga, buron wana sadaya lajeng bidhalan.

8.
Madeg ing nagari Amarta. Prabu Yudhisthira miyos siniwi, mungging pandhapa ageng. Ingkang mungging ngarsa kadang nata R Arya Werkodara, R Arya Nakula, R Arya Sadewa. Ingkang rinembag anggenipun praja Amarta badhe kancikan mengsah, sanget denira angarsa-arsa ingkang rayi R Dananjaya denira dinuta ngaturi pariksa ingkang Eyang Resi Abiyasa ing patapan Wukir Ratawu. Dereng watawis dangu, rawuhipun Srinata ing Dwarawati Prabu Kresna, lajeng lenggah satata. Sasampuning lenggah satata Sri Yudhisthira, R Dananjaya matur sasolahira dinuta, miwiti dumugining wekasan sadaya. Dhawuhipun Sri Kresna lajeng pinurih siyaga ing yuda sarta lajeng ambidhalaken wadyabala ing Amarta. Wadyabala ing Dwarawati sadaya anjagi sajawining kitha, R Arya Dananjaya dadya cucuking lampah, R Arya Werkodara mungging wuri sawadyanira kanthi putra R Arya Gathutkaca.

9.
Madeg ing negari Selaprewata. Prabu Dermabirawa nuju miyos ing pandhapi agung, siniwi para wadyabala. Ingkang mungging ngarsa Arya Birawa. Ingkang rinembag : Srinata angarsa-arsa ingkang rayi ing kadipaten R Arya Jayabirawa, tuwin R Arya Bogabirawa denira dinuta ngrumiyini ngepang praja Amarta. Punika sang Nata ing galih sampun karaos sumelang dene wantu-wantu sasmitaning jawata ing alun-alun katingal dhedhet pedhut lelimengan. Sasirnaning pedhut pancawora tarik, sagunging kayon sami sol, ringin kurung rungkat kekalihira. Sireping pancawora mambet ganda, ing ngriku Sang Prabu sampun anyana tiwasing ari kekalih. Boten dangu dhatengipun wulucumbu ingkang kinanthekaken dados panganjuring lampah para barisaning wadya ditya nama Kyai Togog tuwin Sarawita. Sasampunira mangarsa , dinangu matur tiwasing margi dereng ngantos dumugi ing nagari Amarta para punggawa ditya sami pejah dening satriya Madukara R Janaka. Wadya alit bibar sapurug-purug, kapara ingkang rayi R Jayabirawa nalabung prang tuwin R Bogabirawa. Langkung rame prangira lawan satriya Madukara, wasana R Jayabirawa tuwin ingkang rayi R Bogabirawa sirna kapanduk ing warastra, kawon lajeng musna boten katingal. Srinata titi pamiyarsanira sakalangkung duka yayah sinipi, amung anganta-anta satriya Madukara. Wasana lajeng dahwuh dhumateng patihira pinurih amepak wadyabala sadaya siyaga dedameling prang. Srinata sedhiya nyarirani piyambak rawuh ing Amarta. Sasampuning samapta lajeng bidhal wadyabalanira.

10.
Madeg ing pasanggrahan wates praja Amarta. Prabu Bathara Kresna , Prabu Puntadewa, R Arya Wrekodara, R Arya Dananjaya, R Arya Nakula, R Arya Sadewa tuwin para putra pepak sumiweng ngarsa. Ingkang rinembag: denira arsa nata gelaring prang. Kasaru Rekyana Patih Tambakgangga sowan mangarsa atur pariksa dhatenging mengsah saking Selaprewata. R Arya Wrekodara, R Arya Dananjaya tuwin para putra sami mijil ing njawi. R Danajaya majeng prang mapag yudanipun Prabu Dermabirawa,. Langkung rame mijilaken pengabaran. Dangu boten wonten ingkang kasoran, R Arya Wrekodara majeng analabung prang. Prabu Dermabirawa kenging kacepeng binanting nulya binucal tebih, dhawah ing siti ngadeg sesumbar. Lajeng malih warni pindha Arjuna, prang rame sami warni Arjuna. Kang pindha Arjuna kenging kacepeng dening sang Arjuna, binanting lajeng binucal dhawah siti. R Arya Gathutkaca lajeng anyandhak dhateng kang pindha Arjuna, ingidak-idak binucal tebih. Satanginipun, malih warni pindha Gathutkaca, prang sami gegana. Sang pindha Gathutkaca kenging binucal dhawah ing siti tinampen R Arya Wrekodara ingidak-idak binucal. Sanalika santun warni pindha Werkodara, lajeng dadya prang kembar ing warna lawan R Arya Werkodara langkung rame, ngantos sami ngasta gada Rujakpolo. Para kadang sami kawekan ing galih mirsa solahing payudan. Sri Kresna lajeng tanggap animbali kadang waruju Pandhawa R Arya Nakula, R Arya Sadewa sami sowan mangarsa. Dhinawuhan sowan dhateng ingkang uwa Narpati Salya, nata ing Mandaraka ngaturi pariksa kawontenanipun ing payudan tuwin kautus nyuwun usada boten ketang warni toya satetes tuwin ron salembar janji saking ingkang uwa Prabu Salya punika lajeng kenging kangge sarana ing payudan. Raden kekalih lajeng pangkat gegancangan. Sigeg.

11.
Madeg ing nagari Mandraka. Prabu Salya pinuju gerah benter sanalika lumpuh sadaya, tinengga sang Prameswari Dewi Setyawati tuwin para putra Dewi Erawati, Dewi Surtikanthi, R Arya Rukmarata. Sami muwun dene gerahipun ingkang rama Nata sangsaya ngranuhi. Kasaru dhatengipun R Arya Nakula , R Arya Sadewa lajeng tumameng pura. Sasampuning lenggah raden kekalih wau sami amuwun angres sesambatipun. Dene ingkang uwa gerah sawatawis dangu boten mireng sarta ningali risaking sarira. Ing ngriku Prabu Salya kersa ngandika andangu, pulunan kekalih matur bilih dinuta kang raka Prabu Kresna tuwin Prabu Yudhisthira ngaturaken purwa madya wasananing payudan tuwin nuwun sarana. Ing ngriku sadangunira sareyan Prabu Salya sareng mireng aturira pulunan kekalih, lajeng gumregah wungu. Sarira katingal entheng nedya tindak ing palagan, pinambeng boten kenging. Lajeng pangkat boten karsa anitih amung tindak dharat binayang-bayang para putra kairing Patih Tuhayata para wadyanira sawatawis. Ciptaning driya rehning trahing prajurit katimbang pejah denira roga, aluwung sirna wonten palagan.

12.
Madeg ing pasanggrahan paprangan. Prabu Kresna, Prabu Puntadewa. Rembag sami emeng ing panggalih, dene denira prang kang rayi R Arya Wrekodara maksih dedreg dereng sami kasoran. Kasaru rawuhira Prabu Salya binayang-bayang. Nata kekalih gurawalan methuk. Sasampunira lenggah satata srinata kekalih matur punapa ingkang dados raosing gerahipun benter, salira cape sadaya. Nanging kedah paripeksa ing payudan, ciptaning wardaya tinimbang seda jalaran sakit aluwung majenga ing rana. Para putra pinurih ambayang, lajeng linaksanan dumugi samadyaning rana. Para putra pinurih sumingkir tebih, Sri Salya lenggah sarwi gumeter ngasta warastra pinenthang. Ing ngriku katingal kang lagya yuda R Wrekodara kaliyan mengsah kembaring warna. Sri Salya waspada ningali, lajeng anglepasaken jemparing. Menggah kang pindha Arya Wrekodara kenging warastra jajanira dhawah kantaka ing bantala, babar warni Prabu Dermabirawa. R Arya Wrekodara dipunawe kang raka Prabu Kresna, lajeng mundur ing payudan. Linipur, racuta kanepsonira. Prabu Dermabirawa lajeng sesumbar nyelaki mengsah, dupi tumingal Sri Salya langkung gawoking driya dene mengsah sampun jompo sarwi barangkangan. Ing ngriku Sri Salya sesumbar memanas driyaning mengsah. Prabu Dermabirawa nyelak sarwi duka, Sri Salya dinugang. Sukunira Prabu Dermabirawa cinandhak binanting kanteb, lajeng binucal tebih dhawah kalenggah. Wunguning kantaka, angadekaken pangaribawa warni-warni. Sri Salya boten kengguh , dangu-dangu Prabu Dermabirawa ngalumpruk tanpa bayu, sirna karosanira lajeng luluh. Sarira murca katingal dados rare alit sarwi celak Prabu Salya.
Ing ngriku Prabu Salya boten pangling bilih punika Candhabirawa, lajeng pinurih buntun manjinga dhateng garbanipun Sri Salya binolehan tembung manuhara. Boten dangu rawuhira Sri Kresna, Prabu Puntadewa. Srinata kekalih tumut angreripih dhateng Candhabirawa. Candhabirawa mangsuli purun wangsul dhateng guwagarbanipun Sri Salya, nanging benjing Bratayuda lajeng kapapaga Prabu Puntadewa. Awit punika titising kang rama Bagawan Bagaspati rumiyin. Prabu Puntadewa nyagahi, Candhabirawa lajeng manjing guwagarbanipun Prabu Salya, saksana Prabu Salya waluya kadi ing nguni. Lajeng sami masanggrahan, kasaru dhatengipun buron soroh amuk, pinapag R Arya Wrekodara tuwin R Arya Gathutkaca, prang sampak. Madeg ing pasanggrahan. Prabu Salya, Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, ndhatengi pun kang mentas ungguling yuda. Lajeng sami bojana andrawina.
Tancep kayon.

PANDHAWA PUTER PUJA



Anggitan : KGPAA Mangkunagara VII

1.
Jejer ing negari Astina.Prabu Suyudana miyos ing pancaniti. Ingkang sumiwi putra R Lesmana Mandrakumara, Dhahyang Durna, Patih Arya Sangkuni tuwin para Kurawa pepak, R Arya Dursasana, R Kartamamarma, R Durmagati, R Citraksa, R Citraksi.
Ginem : Sang Prabu suyudana angsal wangsiting jawata, dhinawuhan nglampahi puter puja medal saking praja . Dhahyang Drona dhinawuhan andherek, dene Patih Arya Sangkuni dalah para Korawa amung kalilan nguntapaken. Sasampuning dhawuh lajeng kondur angadhaton, Dhahyang Durna andherek srinata. Lajeng bibaran nangkil.

2.
Madeg ing gupit Mandragini. Sang padniwara Dewi Banowati lenggah ing pananggap prabasuyasa, ingadhep Dewi Lesmanawati tuwin para parekan. Risang wara angentosi kondurira srinata ngiras pantes mariksani ajaring bedhaya srimpi. Kasaru konduripun Sang Prabu tuwin Dhahyang Drona, lajeng pinethuk ing garwa miwah putra. Kekanthen asta lajeng binekta lenggah satata tuwin Dhahyang Drona . Sang nata imbal wacana dhateng garwa tuwin putra kawontenanipun ing pasewakan, lajeng tindak pambojanan. Sasampuning bojana lajeng santun busana, lajeng mijil ing jawi, Dhahyang Drona tan kantun.

3.
Madeg ing paseban njawi. Patih Arya Sakuni tuwin para Korawa, R Arya Dursasana, R Kartamarma, R Durmagati, R Citraksa, R Citraksi, R Arya Jayadrata. Ginem : Anggenipun badhe nguntapaken tindakipun sang nata dhateng wana Krendhayana, denira arsa puter puja. Patih Arya Sakuni lajeng dhawuh siyaga, para Korawa sampun samekta sami wahana turangga, namung ngentosi miyosipun sang nata, titihanira rata kencana sampun mangarsa. Wiyosipun Sri Suyudana tuwin Dhahyang Drona lajeng nitih rata kencana. Lajeng bidhal, ;para Korawa sami kapalan.

4.
Madeg ing nagari Nungsakambang. Sang Prabu Jayabirawa miyos pandhapi, ingadhep Patih Siwanda tuwin para punggawa ditya sawatawis. Ginem : Sang Prabu miyarsa warta bilih para ratu ing tanah Jawi sami puter puja wonten ing wana Krendhayana . Sang Prabu kersa angresahi denira sami denira puter puja. Sang nata lajeng animbali punggawa siluman, sampun mangarsa ditya Jaramaya, Doramiya. Para ditya seluman sami dhinawuhan angresahi para ratu tanah Jawi denira sami puter puja wonten ing wana Krendhayana. Ditya seluman lajeng sami pangkat, sang nata kondur angadhaton.
Sigeg.
Lampahipun para sata Korawa ing Astina, ingkang sami nguntapaken srinata Astina tindak dhateng wana Krendhayana sareng dumugi ing margi kapapag ditya saking nagari Nungsakambang. Pasulayaning rembag dadya prang, wasana sami sesimpangan margi.

5.
Madeg ing pratapan Wukir Ratawu. Sang Bagawan Abyasa lenggah ing pacrabakan, ingadhep ingkang wayah R Angkawijaya tuwin R Arya Gathutkaca miwah panakawan tiga Kyai Semar, Nalagareng, Petruk tuwin para cantrik. Ginem : Sang Begawan andangu dhateng kang wayah kekalih. Sami matur uninga lelampahanipun para Pandhawa anggenipun muter puja : Sang bagawan Abyasa dhawuh dhateng R Angkawijaya tuwin R Arya Gathutkaca kadhawuhan sami mantuk, amit rinilan pangkat ingiring panakawan repat tetiga. Sang Begawan lajeng tindak ing pamelengan.

6.
Madeg ing wana tarataban. Ditya Jaramaya, Sadumia, Doramiya. Ginem : Anggenipun kautus , gustinipun kadhawuhan angresahi para ratu tanah Jawi ingkang sami puter puja. Mangkana lampahira R Angkawijaa tuwin R Arya Gathutkaca ingiring Kai Semar, Nalagareng, Petruk saya celak lajeng kapapag ditya tetiga. Pasulayaning rembag dados prang rame. Ditya seluman boten saged pejah lajeng krodha anamakaken muksala. R Angkawijaa tuwin R Arya Gathutkaca sareng sami kenging kemayan lajeng dados reca. Kyai Semar, Nalagareng , Petruk sami sumerep bendaranipun dados reca lajeng sami mantuk dhateng Madukara nedya atur pariksa.

7.
Madeg ing wana Krendhayana. Sang Prabu Suyudana tuwin Dhahyang Drona , Patih Arya Sakuni tuwin para Korawa. Sri Suyudana tuwin Dhahyang Drona lajeng sami amiwiti puter puja. Patih Arya Sakuni lajeng wangsul mantuk dhateng ing nagari Astina tuwin para kadang Korawa lajeng sami pangkat.

8.
Madeg Sang Bagawan Lanowa, satriya atapa bisu. Lajeng kasaru rawuhipun Sang Prabu Suyudana tuwin Dhahyang Dorna. Sang begawan dinangu kendel datan mangsuli,. Sareng sinerapaken dening Dhahyang Drona matur menggah anggenipun tapa punika perlu napakaken mantu kula nama R Arjuna. Sang Prabu sareng miyarsa aturing sang begawan, Sang Prabu Suyudana langkung krodha. Sang Begawan pinejahan kuwanda muksa, tilar swara angancam benjing prang Bratayudha badhe males. Sang Prabu lajeng andumugekaken anggenipun puter puja.

9. 
Madeg ing Madukara. Raden Arjuna lenggah kaliyan ingkang garwa dewi wara Sumbadra tuwin dewi wara Srikandhi. Kasaru dhatengipun Kyai Lurah Semar, Nalagareng, Petruk sarwi tawan-tawan tangis. Dinangu, matur tiwasing putra R Angkawijaya tuwin R Arya Gathutkaca, sami dados reca wonten wana tarataban. Awit perang kaliyan ditya seluman, lajeng kenging kemayanipun. R Arjuna sareng miyarsa turira Kyai Semar, Arjuna langkung duka arsa ngupadosi ingkang putra. Lajeng pangkat kadherekaken panakawan repat tiga Kyai Semar, Nalagareng, Petruk.

10.
Sigeg. Ing wana tarataban. Lampahipun R Arjuna kapethukaken dening Sang Hyang Bethari Durga amancala warni pawestri endah kang warni nama Dewi Talimendang. R Arjuna uninga Dewi Talimendang lajeng kasmaran. Sang Dewi dipun ngungrum malajeng, binujung. Sang Dewi babar Sang Hyang Bathari Durga, lajeng paring sabda dhateng R Arjuna kados bantheng. R Arjuna lajeng dados bantheng, nanging meksa ambujung kemawon, sareng enget sumerep wujudipun piyambak lajeng anjetung kendel. Kyai Semar, Nalagareng, Petruk ugi nangis bingung katilapan bendaranipun. Lajeng nedya mantuk, bantheng dhateng ing nagari Dwarawati.

11.
Madeg ing nagari Dwarawati. Sang Prabu Kresna miyos ing pandhapi ageng, ingadhep ingkang putra R Samba tuwin R Arya Setyaki. Sowanipun Patih Udawa atur uninga ing njawi wonten bantheng ngamuk. Lajeng kapapagaken sang Prabu Kresna. Bantheng lajeng angrungkebi padanipun ingkang raka Prabu Kresna sarwi akathah-kathah. Sang Prabu lajeng ambiyantu mancala warna dados rare bajang nama Jaka Sungkana, bantheng nama bantheng Andini lajeng tinumpakan. Lajeng pangkat dhateng praja Nungsakambang.

                                        
12.
Madeg ing nagari Amarta. Sang Prabu Puntadewa miyos ing pandhapi, ingadhep ingkang rayi R Arya Wrekodara , tuwin R Nakula, R Sadewa. Ginem : Sang Prabu arsa puter puja. Sang Prabu Puntadewa dhahwuh dhateng ingkang rayi R Arya Wrekodara tuwin R Nakula. R Sadewa sami dhinawuhan andherek dhateng ing wana Krendhayana, sampun sami samekta lajeng bidhal.

13.
Madeg ing wana Krendhayana. Sang Prabu Puntadewa tuwin ingkang rayi R Arya Wrekodara, R Nakula, R Sadewa. Wonten ing ngriku sami amanggih reca gajah pethak, ing nalika samanten patilasanipun R Gajahoya. Sri Puntadewa tuwin para rayi lajeng sami amatrap semadi. Boten antawis dangu rawuhipun Sang Hyang Narada tuwin Sang Hyang Endra amaringaken panetepipun agami, utawi tulus anggenipun angratoni ing nuswa Jawi. Tuwin ungguling Bratayuda ing benjing. Sasampuning dhawuh Sang Hyang Narada tuwin Sang Hyang Endra lajeng sami kondur ing kahyangan. Sang Prabu Puntadewa tuwin ingkang rayi sami kondur mring Amarta, lajeng bidhalan.

14.
Madeg ing nagari Nungsakambang. Sang Prabu Birawa miyos ing pandhapi , ingadhep Patih Siwanda. Kasaru rawuhipun Sang Hyang Bathari Durga, sampun lenggah satata. Ginem : Sang Hyang Bathari Durga paring uninga bilih raden Arjuna sirna. Sang Prabu Birawa suka panggalihipun, Sang Hyang Bathari Durga lajeng kondur makayangan. Katungka dhatengipun R Jaka Sungkana anumpak bantheng Andini , wonten ing alun-alun ing Nungsakambang angamuk. Sang Prabu Birawa krodha lajeng medal ing njawi panggih ayun-ayunan prang rame. Patih Siwanda lajeng dados sima gembong, ingaben kaliyan bantheng Andini lajeng babar R Arjuna. Sang Prabu Kresna lajeng angayat cakra, sampun lumepas kenging Prabu Birawa lajeng babar Sang Hyang Kala. Sima gembong kenging lajeng babar Hyang Kalayuwana, lajeng sami muksa dhateng ing kahyangan.

15.
Madeg Prabu Kresna tuwin R Arjuna. Ginem : Sasirnaning Sang Hyang Kala lajeng ngupadosi para kadang Pandhawa. Sri Kresna tuwin R Arjuna dumugi ing wana tarataban uninga reca kekalih bagus warnanipun, lajeng pinarepekan. Sareng sampun celak lajeng rinuwat, reca kekalih babar R Arya Gathutkaca tuwin R Angkawijaya. Dinangu, matur purwa madya wasana katur ingkang uwa Sri Kresna tuwin rama R Arjuna. Kang putra kekalih lajeng kadhawuhan andherek kondur dhateng nagari Amarta, lajeng sami bidhal.
Lampahipun Prabu Kresna, R Arjuna tuwin putra R Angkawijaya R Gathutkaca dumugi ing margi kapanggih ingkang rayi Prabu Puntadewa tuwin kang rayi R Arya Wrekodara, R Nakula, R Sadewa . Ginem : Sri Kresna warta-winartan lejeng ingaturan kondur dhateng nagari Amarta , sadaya lajeng bidhal.

16.
Madeg ing nagari Astina. Sang Prabu Suyudana miyos ingadhep dhahyang Drona tuwin Patih Arya Sakuni. Ginem : Anggenipun mentas lumampah puter puja tuwin anggenipun mejahi pandhita tapa ingkang boten dosa. Sang Prabu rumaos manggih sesikuning jawata. Sang Nata esmu kaduwung sarta amireng pawartos bilih kadang Pandhawa anggenipun sami lampah puter puja angsal damel. Sri Suyudana lajeng animbali para kadang Korawa. R Arya Dursasana, R Arya Jayadrata, R Kartamarma, R Durmagati, R Citraksa, R Citraksi sampun sowan, lajeng kinen mangarsa. Sang Prabu dhawuh dhateng R Arya Dursasana sakadangira dhinawuhan angrampit ing praja Amarta. Sami sandika lajeng bidhalan, sang nata lajeng kondur ngadhaton.

17.
Madeg ing nagari Amarta. Sang Prabu Puntadewa tuwin ingkang rayi Prabu Kresna ingadhep para rayi, R Arya Wrekodara, R Arjuna, R Nakula, R Sadewa tuwin para ;putra santana pepak. Ginem : sang Prabu Puntadewa ngaturaken anggenipun anglampah puter puja nalika wonten Krendhayana. Anggenipun semedi ing ngriku lajeng katurunan Sang Hyang Narada tuwin Sang Hyang Endra andhawuhaken timbalanipun Sang Hyang Girinata. Sri Kresna miyarsa langkung suka ing galih, sang Prabu Kresna ngantos ngaturaken lelampahinipun nalika wonten ing praja Nungsakambang, katur sadaya. Lajeng kasaru gegering njawi dhatengipun para Korawa sami angrampit praja. Sang Prabu Puntadewa dhawuh dhateng ingkang rayi R Arya Wrekodara dhinawuhan mapag. R Arya Wrekodara lajeng medal njawi, dumugi ing njawi lajeng prang sampak. Para Korawa sami kasor lumajar sar-saran, R Arya Wrekodara lajeng wangsul dhateng pasewakan.

18.
Madeg Sang Prabu Puntadewa, Prabu Kresna, R Arjuna, R Nakula, R Sadewa, R Angkawijaya, R Arya Gathutkaca para kadang Pandhawa pepak, tuwin para putra santana. Sowanipun R Arya Wrekodara ingkang mentas saking yuda, sampun lenggah satata. Lajeng mangun bojana andrawina. Tanceb kayon.